Redup — End
Aku baru menyadari bahwa menjadi bintang paling terang, tidak selalu bisa membagikan cahayanya saat dibutuhkan. Saat melihatmu keesokan paginya di kampus, aku hampir kehilangan kendali. Salahku telah mencecarmu dengan berbagai pertanyaan.
"Aku baik-baik aja. Bisa tolong minggir?" bentakmu.
Aku menggeleng kuat. "Mana mungkin lo bisa baik-baik—"
"Kalau gitu berhenti tanya aku baik-baik aja atau enggak! Itu bukan urusan kamu!"
Benar. Siapa aku sampai bersikap begini? "Tapi gue ketua kelas."
"Lalu?"
"Bukannya peduli sama teman itu wajar?"
Kamu mendengus. "Cuma karena kita sekelas, bukan berarti kita berteman."
Sebelum kamu berbalik, aku perlu menanyakan ini. "Terus kenapa lo hubungin gue?"
Saat itu, aku berharap kamu berbalik dan menjawab. Tapi kamu justru diam dan pergi begitu saja. Mengabaikan siapapun untuk kesekian kalinya.
Aku tetap pergi ke kampus walaupun tidak banyak kegiatan. Dan selama beberapa hari itu pun aku terus melihatmu di kampus. Kamu terlihat baik-baik saja untuk seseorang yang baru saja berduka.
Malam itu aku melihatmu bersandar pada pagar balkon. Nafasmu yang tersengal terdengar hingga ke ujung lorong. Aku ragu untuk menghampiri. Kakiku tidak bisa bergerak sama sekali.
"La ...." panggilku lirih.
Kamu berbalik menghadapku. Bahkan dalam cahaya yang minim, wajahmu terlihat pucat. Matamu lelah tetapi bibirmu tersenyum. Aku berusaha melangkahkan kaki mendekatimu. Tapi setiap aku berusaha bergerak, dinding di sekitar kita runtuh perlahan. Setiap aku melangkah mendekat, senyummu semakin cerah, tetapi lantai semakin retak. Saat itu aku sadar, mungkinkah aku sedang bermimpi?
"La! Berlindung!" aku berteriak panik.
Kamu memang keras kepala. Kubilang mundur! Menjauh! Cari tempat berlindung! Tapi kamu tetap diam dan tersenyum seakan tidak terjadi apapun.
Pilar yang kupegang mulai roboh. Puing-puing atap bangunan ini berjatuhan. Kakiku tak bisa bergerak. Senyummu semakin cerah. Pandanganku menjadi buram sedangkan mataku terus mencari keberadaanmu.
Kurasa aku berteriak meski tidak ada suara. Kurasa aku hampir meraih tanganmu. Kurasa aku hampir menyelamatkanmu. Tetapi lantai tempatmu berpijak lenyap seketika. Terjun melesak seiring dengan teriakanku memanggil namamu.
Senyummu masih terlihat jelas ketika aku terbangun dengan hentakan tiba-tiba. Ruang studio siaran yang terang, cukup menyadarkanku bahwa kejadian acak itu benar hanya mimpi. Tapi kenapa sesaknya senyata itu?
Aku memandangi teman-temanku yang tengah bersantai. Tidak ada yang sadar meski aku hampir kehabisan nafas. Aku langsung pamit tanpa menunggu respon mereka.
Begitu keluar, ternyata langit sudah gelap. Tenggorokanku terasa kering. Selama berjalan di koridor terasa seperti deja vu. Seakan bangunan ini akan runtuh jika aku melangkah. Terutama saat melewati kelas kita. Aku mengintip ke dalam melalui jendela. Bukan karena aku penakut, hanya saja bayangan mimpi tadi seketika mengingatkanku bahwa di depan kelas ini aku melihat dirimu lenyap bersama bangunan yang ambruk.
Aku berhenti di depan jendela dekat pintu. Kakiku sendiri yang mendekat. Semilir angin cukup untuk memberi sedikit dorongan pada pintu yang ternyata tidak terkunci. Sejujurnya aku juga bukan si pemberani. Namun entah asupan keberanian dari mana, kakiku melangkah perlahan mendekati pintu. Pikirku, aku harus menutupnya rapat-rapat.
Kuraih gagang pintu, namun sesuatu di bawah menahan pintu untuk tertutup. Kudekatkan tubuh pada pintu dan mendorongnya sedikit ke belakang untuk melihat apa yang mengganjal.
Tak ada yang lebih mendebarkan sekaligus melegakan saat kulihat sepatu converse putih yang lusuh tergeletak di antara celah pintu. Bisa saja aku langsung menyingkirkannya, tetapi siapa pemilik sepatu itu? Orang aneh mana yang meninggalkan sepatu di kelas? Mana mungkin ia pulang tanpa alas kaki.
Aku memiliki begitu banyak penyesalan sepanjang hidup. Seperti beberapa hal yang seharusnya kulakukan tetapi tidak kulakukan. Atau sebaliknya, beberapa hal yang seharusnya tidak kulakukan justru tetap kulakukan. Aku selalu penasaran dan merasa bertanggungjawab atas banyak hal tanpa memedulilan konsekuensinya. Di hari yang seharusnya berlalu begitu saja, kulakukan penyesalan terbesar selama aku hidup.
Saat kulihat tidak ada siapapun di ruangan gelap itu, seharusnya aku pergi. Andai saja aku tidak kembali berbalik dan menyalakan lampu. Andai saja aku tidak menoleh ke arah itu. Andai saja aku tidak membuka pintu sejak awal. Andai saja aku tidak ketiduran di studio. Andai saja aku tidak datang ke kampus.
Andai semuanya tidak berjalan serupa, apa yang kulihat mungkin tidak akan pernah memukulku seberat itu. Tubuhku nyaris kehilangan pertahanan. Sekelilingku seakan berhenti. Tidak terdengar apapun selain detak jantungku yang berpacu dengan penyangkalan dan penyesalan. Seluruh ototku kaku hingga berjalan ke arah tubuhmu yang duduk terkulai di lantai terasa begitu sulit.
Tidak ada yang keluar dari mulutku. Tetapi darahmu terus mengalir dari sana ... dari pergelangan tanganmu yang terluka. Dari tangan seorang teman yang seharusnya kujabat sejak awal. Yang seharusnya kuraih sebelum mimpi dan harapannya terkulai.
Aku baru menyadari bahwa menjadi bintang paling terang tak selamanya menjadi pahlawan. Ia gagal karena terlambat datang. Karena bintang redup itu terlanjur meledak diam-diam, menyisakan lubang hitam terlahir tanpa kenangan. Bahkan hingga di akhir hidupnya, ia tetap hancur sendirian.
•••
selesai
Thankyou for reading~~